George Wilhelm Friedrich Hegel |
G.W.F. Hegel, yang secara luas di pandang para pendukung dan para kritikus sebagai pemikir perdana tentang modernitas, adalah sosok yang menjadi menara tinggi dalam teori kritis. Tidak seperti Kant yang kritiknya memasyarakatkan penyelidikan hingga batas-batas rasionalitas, Hegel adalah yang pertama mengajukan bentuk “Immanent critique” (kritik yang terus menerus dari dalam). Kritik immanent itu bertujuan mengungkap visibilitas dan kontradiksi, ketegangan, distorsi internal (atau, yang “negatif” dalam istilah “Hegel”) bagi kategori-kategori pikiran yang membentuk pengetahuan. Tanpa penjelasan sitematis Hegel terhadap pergerakan “Negativitas” dalam pikiran dan pengalaman, maka banyak yang membentuk pemikiran kritis saat ini—termasuk pendekatan-pendekatan Marxis, hermeneutika, dan psikoanalitik untuk mempelajari kehidupan sosial modern, serta pendekatan-pendekatan pascakolonial dan posmodern di tujukan untuk “mengatasi modernitas”—akan secara harfiah tidak akan terpikirkan. Hegel sangat di kenal sebagai Teoretisi tentang kebebasan, yang mendukung tentang sejarah progresif yang menandai gerakan penyatuan antara penalaran dan jagat roh (Geist). Kontreibusi Hegel terhadap pemahaman atas kesadaran dan keinginan yang secara sosial dan antar subjectif telah terbentuk adalah sangat penting bagi upaya-upaya untuk bergerak elampaui dualisme (antara objectif/subjectif, normatif/nyata)dan empirisme sejak Kant dan Descartes mendomunasi Filsafat Barat dan penyelidikan sosial. Dengan kata lain, Hegel sebagai pemikir kritis modernitas telah mengarahkan perhatian.
Namun demikian, dalam mempertimbangkan
pekerjaan Hegel, orang harus hati-hati dalam memahaminya di awal. Prosanya bisa
membuat frustasi tetapi juga sangat memuaskan. Muatannya sangat berlimpah asal
anda mau berusaha dengan tekun. Dalam disiplin Hubungan Internasional, meski
bayang-bayang Hegel tampak besar, diskusi eksplisit atas karyanya relatif terbatas.
Diskusi para cendikiawan hubungan internasional umumnya hanya terpusat pada dua
teks, The Phenomenology of Spirit dan
The Philosophy of Right. Diskusi
tentang Hegel di bawa di saatu pihak ke “realisme”, khususnya terhadap
tulisannya tentang negara dan “internasional”, pembelaannya terhadap
nasionalisme dan perang antar negara. Diskusi ini juga dibawa kkearah
sebaliknya, yakni pembacaan liberal atas komunitarianisme Hegel yang mengarah
kepencerminan luas antar disiplin dengan produksi, manajemen, dan efek
penghirarkian atas “otherness” (keserbalainan) dalam kehidupan sosial global,
eksposisi Hegel terhadap dialektika tuan/budak (dalam The Phenomenology of Spirit) yang pernah di pandang sebagai
teoritisasi transhistoris yang kuat dan generatif terhadap problematika “self-other” (oleh para penulis pasca
kolonial seperti Aime Caesar dan Frantz Fanon, misalnya) justru di pertanyakan.
Kemudian, dalam banyak teori Kritis Kontemporer, Hegel berperan sebagai tokoh
sentral bahwa pemikiran kritis harus selalu tegang untuk membuang semua klaim
tentang “Absolute Knowing” (mutlak
mengetahui) dan penolakan radikal terhadap alterity
yang bisa di bangkitkan idelisme spekulatif. Meningkatkan rasionalisasi dari
imperialisme dan keunggulan buday (Eropa) yang di pandang sebagai inti dari
kartografi Hegelian, Buku Philosophy of Historis yang di terbitkan
secara anumerta telah datang secara terhormat kedalam perdebatan ini. Sejauh
Konsep “internasional” secara kritis mengubah konotasi, minimal, pengakuan
terhadap keberagaman (banyak negara, banyak sejarah, banyak kehidupan dunia),
justru penolakan Hegel terhadap perdebatan itulah yang memunculkan “internasional”
sebagai objek valid bagi penyelidikan dalam pikirannya.
Lalu, apa kegunaan Hegel dalam Hubungan Internasional kontemporer yang kritis? Apa kategori-kategori sentral dalam
pemikiran Hegel yang memungkinkan dan bukannya menghambat terjadinya imajiner
kritis global? Jika, sebagaimana telah banyyak di ingatkan oleh pemikiran dari Foulcault hingga Derrida, kita dapat
mendebat (atau melawan) Hegel dalam istilah yang tetap sangat Helegian, apa yang mungkin bisa di ambil
cendikiawan kritis dari Hegel dalam mengejar penyelidikan atas kondisi dan
memungkinkan mengimajinasikan dunia yang lebih adil? Meskipun ada beberapa
jalur untuk menapaki arsip-arsip Helegian
dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam diskusi berikut ini saya hanya
bisa memberi isyarat kearaha beberapa cara diman keterlibatan dengan pemikiran
Hegel hari ini muungkin menjaddi sangat tepat waktu. Akan tetapi, pertama-tama,
kita bahas sketsa biografi singkatnya dulu.
CATATAN BIOGRAFIS
Hegel lahir di Stutgart pada 1770 dari
keluarga keleas menengah atas, dan mendapat pendidikan klasik, sasstra dan
teologi di Tubingen, Hegel muda pernah bekerja sebagai tutor les bagi keluarga
kaya Swiss di Berne (1793-1796), sebelum ia pindah ke Frankfrut pada 1979.Saat
Hegel masih menjadi Mahasiswa, penjara Bastille di Prancis di jatuhkan kaum
revolusioner (ini peristiwa yang selalu di rayakan Hegel setiap tahun sampai ia
mati). Karier akademisnya melejit cepat hingga ke jalur Profesor di University
of Jena pada 1805. Di situ, bersama temannya Friedrich Schelling, Hegel meluncurkan
Critical Journal of Philosophy. Karya
Hegel yang kala itu yang biasa di sebut “Jena
Writinngs”, memberi pertanda banyak bagi argumen karya besarnya Philosophy of Right (1821). Sebelumnya,
karya besarr pertamanya, Phenomenology of
Spirit (1807), baru masuk percetakan saat pasukan Napoleon menduduki Jena.
Setelah penutupan University of Jena, Hegel bekerja sebentar sebagai eeditor
koran di Bavaria, lalu mendapat posisi sebagai kepala Gymnasium (sekolah persiapan) di Nuremberg pada 1808. Di kota ini,
ia menetap hingga 1816. Tiga jilid Science
of Logic di terbitkan selama periode Nuremberg. Encyclopedia of the Philosophical Science in Outline (1817) muncul
setela ia pindah ke University of Heidelberg sebagai Profesor Filsafat, setelah
kekalahan Napoleon di Waterloo pada 1815. Pada 1818, Hegel menjadi guru besar
Filsafat di University of Berlin, dimana ia tinggal samapi kematiannya pada
1831 beberapa bulan setelah ia di beri medali oleh Friedrich Wilhelm III dari
Pursia.
KONSEP KUNCI
Filsafat Hegel di dassarkan pada
keyakinan yang mendalam tentang kebutuhan intrinsik akan kebebasan, di fahami
sebagai pengetahuan diri, dalam pengembangan subjek menempuh perjalanan sejarah
manusia. Hegel menantang pengertitan Kantian tentang Unknowability (ketidak biasaan untuk diketahui) radikal tentang
dunia dan konsepsi atomistik tentang subjek selfknowing
(mengetahui diri) yang mendasarinya. Tujuan menyeluaruh Hegel adalah menunjukan
sifat sosial mendalam dari individu modern yang bisa “at-home-in-the-world” (merasa nyaman hidup di dunia). Bagi Hegel,
proses ini mensyaratkan dorongan afirmatif sekaligus negatif; Afirmatif,
melalui pengakuan atas saling ketergantungan mendasar yang di jahit dan
dibentuk individu ke praktik-praktik sosial dan lembaga-lembaga kehdupan
budaya, ekonomi, estetika, dan politik (dalam keluarga, masyarakat sipil, dan
Negara). Negatif, melalui kapasitas kreatif dan transformatif si individu untuk
membentuk dunia (alam, benda, dan sesuatu), sehingga bisa mengaktualisasikan
(penciptaan) cara tertentu, spesifik, untuk menjadi self atau diri sendiri. Peran sangat penting yang dimainkan ide-ide
tentang rasionalitas dan saling-ketergantungan
da Filsafat Hegel menolak klaim bahwa “Absolute
Knowing” bagi Hegel menyiratkan “absolute
knowing of absolutely everything”. Fokus sitematis sekadar bisa di sebut
sebagai “sosial”, inilah yang menjadi dasar pemikiran Hegel sehingga karyanya
sangat gampang menjadi sumber penting dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer.
Setiap teori, yang mengambil sosial (sebagai ko-konstruksi) sebagai titik awal,
tidak dapat mempertahankan diri dari otoritarianisme liberal (pengertian
tentang negara atau subjek yang berdaulat, otonom, dan Self-subsistent), atau dan penjelasan etika (sebagai kewajiban atau
tanggung jawab terhadap suatu negara atau subjek) dalam kehidupan sosial global
yang komplementer (dan, karena itu selalu bahaya dan darurat) terhadap sistem
internasional dari negaraa-negara yang self-subsistent. Maka dari itu, fokus terhadap reasionalitas Helegian sebagai pembentuk bagi
perbedaan dapat memperkuat pemahaman kritis terhadap “Human” di berbagai wacan kritis dalam Hubungan Internasional,
termasuk diskusi tentang kemiskinan, dan kesejahteraan dalam ekonomi politik,
hak asasi, etika aglobal, perbedaan dan keadilan. Tiga ilustrasi berikut atas
klaim ini, bertentangan dengan perlawanan teori kritis terhadap pemikiran Helegian, harus cukup sampai disini.
Sentralitas dari “negara” dalam sistem
filsafat Hegel telah membuat karyanya di curigai dalam kalangan Hubungan
Internasional kritis-yang curiga terutama pada imajiner politik negara-sentris
dan pada sejarah panjang kekerasan yang di asosiasikan dengan praktik-praktik
eksklusif kedaulatan negara. Dalam The
Philosophy of Right, Hegel menguraikan filsafat sosial dan politik yang
melihat kehidupan sosial modern berlangsung dalam tiga jagat (atau lembaga)
utama; keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Kehidupan keluarga, di tandai
dengan hubungan cinta dan kewajiban, sangat berlawanan dengan kehidupan di
masyarakat sipil jagat hubungan pertukaran ekonomi yang perburuan kepentingan
diri murninya memungkinkata perwujudan atas apa yang di sebut Hegel sebagai “subjective particulary” (Individualitas,
via prduksi dan konsumsi) yang jelas-jelas menghianati karakter sosial mendalam
(via pembagian tenaga kerja, spesialisasi dan sistem kebutuhan) yang menjadi
ciri kehidupan ekonomi modern (kapitalis). Hidup dalam keluarga dan hidup dalam
masyarakat sipil ini di mungkinkan dan di bawahi dalam konteks hukum dan
peraturan lebih luas melalui “Negara Administratif” (apa yang biasa kita sebut
sebagai “pemerintahan”). Namun demikian, konsep tentang “state power” sebagai komunitas etis mencakup ketiga jagat hidup
itu (keluarga, masyarakat sipil, dan administrasi negara). Hal itu sangat bisa
di lihat sebagai struktur abstrak, yang menandakan suatu cara saling berkaitan
yang memungkinkan berbagai bentuk kehidupan yang terkandung di dalamnya
(praktik-praktik sosial dan industri dari keluarga, masyarakat sipil, dan “pemerintah”).
Klaim tentang ethicality Negara sebagai
struktur abstrak dilandaskan,
sebagaimana di jelaskan The Philosophy of Right, dalam reasionalitas
soial itulah yang di pandang sebagai ekspresi
tertinggi. Klaim bahwa dukungan kuat Hegel terhadap Negara (sebagai
struktur abstrak atau cara berhubungan) di terjemahkan langsung sebagai
pertahanan empiris atas “keadaan yang
sebenarnya ada”. Hal itu dipandang merupakan suatu titik lemah, sehingga
terbuka bagi pengkajian kritis tentang apakah, dan dalam kondisi apa, imajiner
global alternatif mungkin itu di persyaratkan. Hal ini kontrak dengan penolakan
kritis tentang problem Negara, mengajukan kembali pertanyaan tentang Negara
(dalam istilah Hegel) pada zaman kita.
Ilustrasi kedua tentang ketepatan waktu
bagi pemikiran Hegel tentang pemikiran kritis Hubungan Internasional
kontemporer dapat dilihat dalam kontek pemahaman Helegian tentang masyarakat
sipil dan pembangkitan sistemik atas kekayaan dan kemiskinan. Tidak seperti
bacaan liberal tentang kebaikan “free-market”
(pasar bebas) kapitalis, konseptualisasi Hegel tentang masyarakat sipil
adalah sebagai wilayah “egoisme universal”. Disisni, menurut Hegel, masing-masing
orang mencari kepentingan sendiri melalui pertukaran dalam pasar. Sistem ini
meberikan penyangkalan yang kuat bagi pemahaman ekonomistik atas pasar.
Partisipasi dalam pembagian sosial atas tenaga kerja, dan pemaknaan yang
terbentuk secara sosial serta kebutuhan yang di wadahi dalam produksi dan
komunikasi, bagi Hegel, adalah intrinsik bagi realisasi diri dan nilai sosial.
Namun demikian, karena hubungan pertukaran kapitalis membuat hubungan
tergantung pada pertukaran (tenaga di tukar upah), maka kegagalan dalam
pertukaran itu berarti pasar bisa menghasilkan kekayaan sekaligus kemiskinan,
sehingga perlu peran negara dalam menciptakan lingkuungan yang memfasilitasi
hubungan yang optimal. Lebih tajam lagi, konsep nonekonomistik sangat mendalam
Hegel tentang kemiskinan bukan suatu kondisi “kurangnya” (pendapatan,
pekerjaan, teknologi, atau pendidikan yang menjadi jangkar bagi wacana
modernisasi neokolonial tenntang “pembangunan” di berbagai bagian dunia sebagai
perwujudan dari “kekurangan”), mendesak sikap kritis lebih radikal untuk
menekankan kembali tidak hanya apa yang di sebut Adam Smith sebagai “Boundary Question” atau pertanyaan
batas (antara Negara dan Pasar), tetapi juga pada problem lebih rumit berupaq
memikirkan kembali “batas-batas” tentang masyarakat sipil.
Akhirnya, “dialektika tuan/budak” dari The Phenmenology of Spirit, tak di
ragukan lagi, menjadi kontribusi paling terkenal Hegel bagi wacana kritis yang
terkait reasionalitas mendalam dan ko-konstruksi bagi self, menawarkan sumber paling kuat bagi Hubungan Internasional
kontemporer yang kritis. Bagi Hegel, kebebasan mensyaratkan perpindahan dari
berbagai bentuk (lebih rendah) dari kesadaran (secara keseluruhan eksternal /
objectif atau secara keseluruhan subjectif/internal) menuju tahap lebih tinggi
dari self-consciousness atau
kesadaran diri. Perpindahan ini hanya mungkin melalui dialektika saling
pengakuan; pengakuan atas self yang
di berikan oleh other, yang pada
gilirannya di akui sebagai self (other) yang berbeda. Kekuatan dari
formulasi ini mendapat perimbangan atas
aspek-aspek fenomenologis dalam konteks perbudakan. Dalam Bab 4 tentang “On
Lordship and Bondage” dari buku The
Phenomenology of Spirit, Hegel menelusuri penjungkirbalikan hubungan feodal
antara “Lord” (tuan) dan “Boundage” (hamba), saat
orang yang “dihambakan” pada tuan berarti realisasi yang lambat atas harga
diri: dalam mengubah bahan mentah menjadi objek-objek yang bisa di gunakan tuannya melalui
pengeluaran energi dan tenaga kerja, para hamba itu “menyerahkan dirinya”
sebagai sosok independen; sementara “sang tuan” yang sangat tergantung pada
tenaga si hamba, ternyata mengajukan cangkang kosong atas klaimnya sebagai
penguasa. Kebutuhan atas seseorang “self”
terhadap pihak lain “other” dibuat
sangat jelas, lebih-lebih karenan narasi sejarah purposif Hegel sebagai
aktaualisasi kebebasan bergantung kepada kesadaran diri duflikatif negatif ini.
Namun demikian, dalam konteks sejarah dunia, itu mendasari pembenaran kuat bagi
perjuangan anti kolonial oleh kaum yang
terpinggirkan, tersingkirkan, dan tak terwakili dalam hubungan internasional.
Hal itu juga memungkinkan pembacaan kritis atas klaim kososng tentang
penguasaan yang hanya di dassarkan pada akumulasi kekayaan dalam dunia yang
semakin tidak merata ini.
Hal ini merupakan kasus kritik yang
cukup mutakhir (terutama, Buck Morss 2000 dan Bernasconi 1998) yang menarik
perhatian tentang gambaran rasis lewat komentar Hegel tentang Afrika dalam The Philosophy of History, dan tiadanya
menyebutkan ekslplisit revolusi rakyat Haiti di Saint Dominigue pada 1804 dalam
The Philosophy of Right (di terbitkan
pada 1821). Sebagaimana di tunjukan Nesbitt (2004), dalam The Philosophy of Right Hegel meninggalkan referensi feodal bagi knechten (perbudakan) dan malahan
menggunakan istilah lebih abstrak sklaverai
untuk mengugtuk perbudakan sebagai hal yang mutlak salah. Meski ia tidak
menyebutnya secara langsung, pada 1820 mungkin ia sudah merujuk pada Revolusi
Haiti.
Edkins, Jenny.Vaughan William, Nick.Teori-teori
Kritis-Menantang pandangan Utama Studi Politik Internasional.pustaka-baca:2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar