Jumat, 04 Januari 2013

G.W.F. HEGEL



George Wilhelm Friedrich Hegel 


G.W.F. Hegel, yang secara luas di pandang para pendukung dan para kritikus sebagai pemikir perdana tentang modernitas, adalah sosok yang menjadi menara tinggi dalam teori kritis. Tidak seperti Kant yang kritiknya memasyarakatkan penyelidikan hingga batas-batas rasionalitas, Hegel adalah yang pertama mengajukan bentuk “Immanent critique”  (kritik yang terus menerus dari dalam). Kritik immanent itu bertujuan mengungkap visibilitas dan kontradiksi, ketegangan, distorsi internal (atau, yang “negatif” dalam istilah “Hegel”) bagi kategori-kategori pikiran yang membentuk pengetahuan. Tanpa penjelasan sitematis Hegel terhadap pergerakan “Negativitas” dalam pikiran dan pengalaman, maka banyak yang membentuk pemikiran kritis saat ini—termasuk pendekatan-pendekatan Marxis, hermeneutika, dan psikoanalitik untuk mempelajari kehidupan sosial modern, serta pendekatan-pendekatan pascakolonial dan posmodern di tujukan untuk “mengatasi modernitas”—akan secara harfiah tidak akan terpikirkan. Hegel sangat di kenal sebagai Teoretisi tentang kebebasan, yang mendukung tentang sejarah progresif yang menandai gerakan penyatuan antara penalaran dan jagat roh (Geist). Kontreibusi Hegel terhadap pemahaman atas kesadaran dan keinginan yang secara sosial dan antar subjectif telah terbentuk adalah sangat penting bagi upaya-upaya untuk bergerak elampaui dualisme (antara objectif/subjectif, normatif/nyata)dan empirisme sejak Kant dan Descartes mendomunasi Filsafat Barat dan penyelidikan sosial. Dengan kata lain, Hegel sebagai pemikir kritis modernitas telah mengarahkan perhatian.
Namun demikian, dalam mempertimbangkan pekerjaan Hegel, orang harus hati-hati dalam memahaminya di awal. Prosanya bisa membuat frustasi tetapi juga sangat memuaskan. Muatannya sangat berlimpah asal anda mau berusaha dengan tekun. Dalam disiplin Hubungan Internasional, meski bayang-bayang Hegel tampak besar, diskusi eksplisit atas karyanya relatif terbatas. Diskusi para cendikiawan hubungan internasional umumnya hanya terpusat pada dua teks, The Phenomenology of Spirit dan The Philosophy of Right. Diskusi tentang Hegel di bawa di saatu pihak ke “realisme”, khususnya terhadap tulisannya tentang negara dan “internasional”, pembelaannya terhadap nasionalisme dan perang antar negara. Diskusi ini juga dibawa kkearah sebaliknya, yakni pembacaan liberal atas komunitarianisme Hegel yang mengarah kepencerminan luas antar disiplin dengan produksi, manajemen, dan efek penghirarkian atas “otherness” (keserbalainan) dalam kehidupan sosial global, eksposisi Hegel terhadap dialektika tuan/budak (dalam The Phenomenology of Spirit) yang pernah di pandang sebagai teoritisasi transhistoris yang kuat dan generatif terhadap problematika “self-other” (oleh para penulis pasca kolonial seperti Aime Caesar dan Frantz Fanon, misalnya) justru di pertanyakan. Kemudian, dalam banyak teori Kritis Kontemporer, Hegel berperan sebagai tokoh sentral bahwa pemikiran kritis harus selalu tegang untuk membuang semua klaim tentang “Absolute Knowing” (mutlak mengetahui) dan penolakan radikal terhadap alterity yang bisa di bangkitkan idelisme spekulatif. Meningkatkan rasionalisasi dari imperialisme dan keunggulan buday (Eropa) yang di pandang sebagai inti dari kartografi Hegelian, Buku Philosophy of Historis yang di terbitkan secara anumerta telah datang secara terhormat kedalam perdebatan ini. Sejauh Konsep “internasional” secara kritis mengubah konotasi, minimal, pengakuan terhadap keberagaman (banyak negara, banyak sejarah, banyak kehidupan dunia), justru penolakan Hegel terhadap perdebatan itulah yang memunculkan “internasional” sebagai objek valid bagi penyelidikan dalam pikirannya.
 

Lalu, apa kegunaan Hegel dalam Hubungan Internasional kontemporer yang kritis? Apa kategori-kategori sentral dalam pemikiran Hegel yang memungkinkan dan bukannya menghambat terjadinya imajiner kritis global? Jika, sebagaimana telah banyyak di ingatkan oleh pemikiran  dari Foulcault hingga Derrida, kita dapat mendebat (atau melawan) Hegel dalam istilah yang tetap sangat Helegian, apa yang mungkin bisa di ambil cendikiawan kritis dari Hegel dalam mengejar penyelidikan atas kondisi dan memungkinkan mengimajinasikan dunia yang lebih adil? Meskipun ada beberapa jalur untuk menapaki arsip-arsip Helegian dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam diskusi berikut ini saya hanya bisa memberi isyarat kearaha beberapa cara diman keterlibatan dengan pemikiran Hegel hari ini muungkin menjaddi sangat tepat waktu. Akan tetapi, pertama-tama, kita bahas sketsa biografi singkatnya dulu.



CATATAN BIOGRAFIS

Hegel lahir di Stutgart pada 1770 dari keluarga keleas menengah atas, dan mendapat pendidikan klasik, sasstra dan teologi di Tubingen, Hegel muda pernah bekerja sebagai tutor les bagi keluarga kaya Swiss di Berne (1793-1796), sebelum ia pindah ke Frankfrut pada 1979.Saat Hegel masih menjadi Mahasiswa, penjara Bastille di Prancis di jatuhkan kaum revolusioner (ini peristiwa yang selalu di rayakan Hegel setiap tahun sampai ia mati). Karier akademisnya melejit cepat hingga ke jalur Profesor di University of Jena pada 1805. Di situ, bersama temannya Friedrich Schelling, Hegel meluncurkan Critical Journal of Philosophy. Karya Hegel yang kala itu yang biasa di sebut “Jena Writinngs”, memberi pertanda banyak bagi argumen karya besarnya Philosophy of Right (1821). Sebelumnya, karya besarr pertamanya, Phenomenology of Spirit (1807), baru masuk percetakan saat pasukan Napoleon menduduki Jena. Setelah penutupan University of Jena, Hegel bekerja sebentar sebagai eeditor koran di Bavaria, lalu mendapat posisi sebagai kepala Gymnasium (sekolah persiapan) di Nuremberg pada 1808. Di kota ini, ia menetap hingga 1816. Tiga jilid Science of Logic di terbitkan selama periode Nuremberg. Encyclopedia of the Philosophical Science in Outline (1817) muncul setela ia pindah ke University of Heidelberg sebagai Profesor Filsafat, setelah kekalahan Napoleon di Waterloo pada 1815. Pada 1818, Hegel menjadi guru besar Filsafat di University of Berlin, dimana ia tinggal samapi kematiannya pada 1831 beberapa bulan setelah ia di beri medali oleh Friedrich Wilhelm III dari Pursia.



KONSEP KUNCI

Filsafat Hegel di dassarkan pada keyakinan yang mendalam tentang kebutuhan intrinsik akan kebebasan, di fahami sebagai pengetahuan diri, dalam pengembangan subjek menempuh perjalanan sejarah manusia. Hegel menantang pengertitan Kantian tentang Unknowability (ketidak biasaan untuk diketahui) radikal tentang dunia dan konsepsi atomistik tentang subjek selfknowing (mengetahui diri) yang mendasarinya. Tujuan menyeluaruh Hegel adalah menunjukan sifat sosial mendalam dari individu modern yang bisa “at-home-in-the-world” (merasa nyaman hidup di dunia). Bagi Hegel, proses ini mensyaratkan dorongan afirmatif sekaligus negatif; Afirmatif, melalui pengakuan atas saling ketergantungan mendasar yang di jahit dan dibentuk individu ke praktik-praktik sosial dan lembaga-lembaga kehdupan budaya, ekonomi, estetika, dan politik (dalam keluarga, masyarakat sipil, dan Negara). Negatif, melalui kapasitas kreatif dan transformatif si individu untuk membentuk dunia (alam, benda, dan sesuatu), sehingga bisa mengaktualisasikan (penciptaan) cara tertentu, spesifik, untuk menjadi self atau diri sendiri. Peran sangat penting yang dimainkan ide-ide tentang rasionalitas dan saling-ketergantungan da Filsafat Hegel menolak klaim bahwa “Absolute Knowing” bagi Hegel menyiratkan “absolute knowing of absolutely everything”. Fokus sitematis sekadar bisa di sebut sebagai “sosial”, inilah yang menjadi dasar pemikiran Hegel sehingga karyanya sangat gampang menjadi sumber penting dalam kajian Hubungan Internasional kontemporer. Setiap teori, yang mengambil sosial (sebagai ko-konstruksi) sebagai titik awal, tidak dapat mempertahankan diri dari otoritarianisme liberal (pengertian tentang negara atau subjek yang berdaulat, otonom, dan Self-subsistent), atau dan penjelasan etika (sebagai kewajiban atau tanggung jawab terhadap suatu negara atau subjek) dalam kehidupan sosial global yang komplementer (dan, karena itu selalu bahaya dan darurat) terhadap sistem internasional dari negaraa-negara yang self-subsistent. Maka dari itu, fokus terhadap reasionalitas Helegian sebagai pembentuk bagi perbedaan dapat memperkuat pemahaman kritis terhadap “Human” di berbagai wacan kritis dalam Hubungan Internasional, termasuk diskusi tentang kemiskinan, dan kesejahteraan dalam ekonomi politik, hak asasi, etika aglobal, perbedaan dan keadilan. Tiga ilustrasi berikut atas klaim ini, bertentangan dengan perlawanan teori kritis terhadap pemikiran Helegian, harus cukup sampai disini.
Sentralitas dari “negara” dalam sistem filsafat Hegel telah membuat karyanya di curigai dalam kalangan Hubungan Internasional kritis-yang curiga terutama pada imajiner politik negara-sentris dan pada sejarah panjang kekerasan yang di asosiasikan dengan praktik-praktik eksklusif kedaulatan negara. Dalam The Philosophy of Right, Hegel menguraikan filsafat sosial dan politik yang melihat kehidupan sosial modern berlangsung dalam tiga jagat (atau lembaga) utama; keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Kehidupan keluarga, di tandai dengan hubungan cinta dan kewajiban, sangat berlawanan dengan kehidupan di masyarakat sipil jagat hubungan pertukaran ekonomi yang perburuan kepentingan diri murninya memungkinkata perwujudan atas apa yang di sebut Hegel sebagai “subjective particulary” (Individualitas, via prduksi dan konsumsi) yang jelas-jelas menghianati karakter sosial mendalam (via pembagian tenaga kerja, spesialisasi dan sistem kebutuhan) yang menjadi ciri kehidupan ekonomi modern (kapitalis). Hidup dalam keluarga dan hidup dalam masyarakat sipil ini di mungkinkan dan di bawahi dalam konteks hukum dan peraturan lebih luas melalui “Negara Administratif” (apa yang biasa kita sebut sebagai “pemerintahan”). Namun demikian, konsep tentang “state power” sebagai komunitas etis mencakup ketiga jagat hidup itu (keluarga, masyarakat sipil, dan administrasi negara). Hal itu sangat bisa di lihat sebagai struktur abstrak, yang menandakan suatu cara saling berkaitan yang memungkinkan berbagai bentuk kehidupan yang terkandung di dalamnya (praktik-praktik sosial dan industri dari keluarga, masyarakat sipil, dan “pemerintah”). Klaim tentang ethicality Negara sebagai struktur abstrak  dilandaskan, sebagaimana di jelaskan The Philosophy of Right, dalam reasionalitas soial itulah yang di pandang sebagai ekspresi  tertinggi. Klaim bahwa dukungan kuat Hegel terhadap Negara (sebagai struktur abstrak atau cara berhubungan) di terjemahkan langsung sebagai pertahanan empiris  atas “keadaan yang sebenarnya ada”. Hal itu dipandang merupakan suatu titik lemah, sehingga terbuka bagi pengkajian kritis tentang apakah, dan dalam kondisi apa, imajiner global alternatif mungkin itu di persyaratkan. Hal ini kontrak dengan penolakan kritis tentang problem Negara, mengajukan kembali pertanyaan tentang Negara (dalam istilah Hegel) pada zaman kita.

Ilustrasi kedua tentang ketepatan waktu bagi pemikiran Hegel tentang pemikiran kritis Hubungan Internasional kontemporer dapat dilihat dalam kontek pemahaman Helegian tentang masyarakat sipil dan pembangkitan sistemik atas kekayaan dan kemiskinan. Tidak seperti bacaan liberal tentang kebaikan “free-market” (pasar bebas) kapitalis, konseptualisasi Hegel tentang masyarakat sipil adalah sebagai wilayah “egoisme universal”. Disisni, menurut Hegel, masing-masing orang mencari kepentingan sendiri melalui pertukaran dalam pasar. Sistem ini meberikan penyangkalan yang kuat bagi pemahaman ekonomistik atas pasar. Partisipasi dalam pembagian sosial atas tenaga kerja, dan pemaknaan yang terbentuk secara sosial serta kebutuhan yang di wadahi dalam produksi dan komunikasi, bagi Hegel, adalah intrinsik bagi realisasi diri dan nilai sosial. Namun demikian, karena hubungan pertukaran kapitalis membuat hubungan tergantung pada pertukaran (tenaga di tukar upah), maka kegagalan dalam pertukaran itu berarti pasar bisa menghasilkan kekayaan sekaligus kemiskinan, sehingga perlu peran negara dalam menciptakan lingkuungan yang memfasilitasi hubungan yang optimal. Lebih tajam lagi, konsep nonekonomistik sangat mendalam Hegel tentang kemiskinan bukan suatu kondisi “kurangnya” (pendapatan, pekerjaan, teknologi, atau pendidikan yang menjadi jangkar bagi wacana modernisasi neokolonial tenntang “pembangunan” di berbagai bagian dunia sebagai perwujudan dari “kekurangan”), mendesak sikap kritis lebih radikal untuk menekankan kembali tidak hanya apa yang di sebut Adam Smith sebagai “Boundary Question” atau pertanyaan batas (antara Negara dan Pasar), tetapi juga pada problem lebih rumit berupaq memikirkan kembali “batas-batas” tentang masyarakat sipil.
Akhirnya, “dialektika tuan/budak” dari The Phenmenology of Spirit, tak di ragukan lagi, menjadi kontribusi paling terkenal Hegel bagi wacana kritis yang terkait reasionalitas mendalam dan ko-konstruksi bagi self, menawarkan sumber paling kuat bagi Hubungan Internasional kontemporer yang kritis. Bagi Hegel, kebebasan mensyaratkan perpindahan dari berbagai bentuk (lebih rendah) dari kesadaran (secara keseluruhan eksternal / objectif atau secara keseluruhan subjectif/internal) menuju tahap lebih tinggi dari self-consciousness atau kesadaran diri. Perpindahan ini hanya mungkin melalui dialektika saling pengakuan; pengakuan atas self yang di berikan oleh other, yang pada gilirannya di akui sebagai self (other) yang berbeda. Kekuatan dari formulasi ini mendapat  perimbangan atas aspek-aspek fenomenologis dalam konteks perbudakan. Dalam Bab 4 tentang “On Lordship and Bondage” dari buku The Phenomenology of Spirit, Hegel menelusuri penjungkirbalikan hubungan feodal antara “Lord” (tuan) dan “Boundage” (hamba), saat orang yang “dihambakan” pada tuan berarti realisasi yang lambat atas harga diri: dalam mengubah bahan mentah menjadi objek-objek  yang bisa di gunakan tuannya melalui pengeluaran energi dan tenaga kerja, para hamba itu “menyerahkan dirinya” sebagai sosok independen; sementara “sang tuan” yang sangat tergantung pada tenaga si hamba, ternyata mengajukan cangkang kosong atas klaimnya sebagai penguasa. Kebutuhan atas seseorang “self” terhadap pihak lain “other” dibuat sangat jelas, lebih-lebih karenan narasi sejarah purposif Hegel sebagai aktaualisasi kebebasan bergantung kepada kesadaran diri duflikatif negatif ini. Namun demikian, dalam konteks sejarah dunia, itu mendasari pembenaran kuat bagi perjuangan  anti kolonial oleh kaum yang terpinggirkan, tersingkirkan, dan tak terwakili dalam hubungan internasional. Hal itu juga memungkinkan pembacaan kritis atas klaim kososng tentang penguasaan yang hanya di dassarkan pada akumulasi kekayaan dalam dunia yang semakin tidak merata ini.
Hal ini merupakan kasus kritik yang cukup mutakhir (terutama, Buck Morss 2000 dan Bernasconi 1998) yang menarik perhatian tentang gambaran rasis lewat komentar Hegel tentang Afrika dalam The Philosophy of History, dan tiadanya menyebutkan ekslplisit revolusi rakyat Haiti di Saint Dominigue pada 1804 dalam The Philosophy of Right (di terbitkan pada 1821). Sebagaimana di tunjukan Nesbitt (2004), dalam The Philosophy of Right Hegel meninggalkan referensi feodal bagi knechten (perbudakan) dan malahan menggunakan istilah lebih abstrak sklaverai untuk mengugtuk perbudakan sebagai hal yang mutlak salah. Meski ia tidak menyebutnya secara langsung, pada 1820 mungkin ia sudah merujuk pada Revolusi Haiti.


Edkins, Jenny.Vaughan William, Nick.Teori-teori Kritis-Menantang pandangan Utama Studi Politik Internasional.pustaka-baca:2010





Tidak ada komentar:

Posting Komentar