Sabtu, 23 Maret 2013

Teori Kritis Sigmund Freud




SIGMUND FREUD

Vanessa Pupavac


Teori-teori psikoanalitis Sigmund Freud memberi pengaruh penting pada pengembangan pemikiran postrukturalis. Adorno, Fromm, dan Marcus dari Mahzab Frankfurt atau pemikir berikutnya seperti Butler, Lacan, dan Zizek mengakui utang intelektual mereka pada Freud, meskipun mereka telah menjauh dari teori-teorinya.


CIVILIZATION AND ITS DISCONTENTS [1930]

Civilization And Its Discontents [1930] karya Freud menguraikan pandangannya tentang kondisi manusia. Model dialektisnya tentang kemanusiaan melihat kemanusiaan itu di dorong oleh kekuatan berlawanan, yakni cinta dan benci, altruisme dan egoisme, atau naluri Eros dan Kematian (Freud, 1994; 46-49). Naluri altruistik dalam individu menarik orang untuk bersama-sama, sementara Naluri Destruktif membawa orang untuk saling menolak (Freud, 1994; 49).

            Model Dialektis Freud terhadap individu meliputi: id, Ego, dan Super-Ego, yang secara luas sebagai berikut :
1.      Id = Diri yang Naluriah
2.      Ego = Rasa individual yang di kembangkan sebagai diri yang berbada dari dunia luar
3.      Super-Ego = Nrma-norma budaya atau Nurani yang sudah di internalkan.
Awalnya, ego seseorang adalah tidak beda dari dunia luar: seorang bayi yang masih tergantung merasa menjadi satu dengan dunia. Lalu, ego anak berkembang melalui prinsip kesenangan atau kebahagiaan. Saat anak menjadi lebih sadar diri, ia mengidentifikasi figur “ayah—pelindung”  yang bisa bergantung dan menginternalkan norma-norma budaya dan mengembangkan hati nurani.

            Ketergantungan individual pada figur ayah—pelindung membuat individu takut pada hukuman atau pencabutan cinta jika ia melakukan pelanggaran (Freud, 1994: 54). Ketakutan yang bersifat antisifasi ini mengarah ke penolakan naluriah. Jadi, individu menginternalkan otorita pelarangan eksternal. Ketakutan atau hukuman eksternal ini menjadi ketakutan dari hati nurani atau super-ego internal, dan mengarah pada dinamika penolakan personal.

         Oleh karena itu, bagaimana individu mengembangkan karakter atau kepribadian mereka itu tergantung pada figur otorita. Otoritas eksternal bisa melindungi sekaligus mengekang individu, oleh karena itu si individu merasa terpenuhi sekaligus terampas oleh otoritas eksternal. Akibatnya, individu merasa cinta sekaligus benci terhadap otorita eksternal.

            Konsep Freud tentang Oedifus complex mengacu pada bagaimana anak-anak mencintai dan membenci figur ayah—pelindung. Anak-anak mengidentifikasi diri dengan figur ayah—pelindung itu, tetapi ingin juga menghancurkan dan menggantikannya. Anak-anak mencintai orang tua mereka karena mereka bergantung pada perawatan orang tua. Akan tetapi, anak-anak membenci orang tua karena orang tua tidak dapat memnuhi semua keinginan mereka. Orang tua membatasi rangsangan egoistis dan naluriah anak dan mengharuskan kepatuhan pada klaim orang lain (keluarga, komunitas, dan lain-lain).

            Ketegangan antara ank dan orang dewasa akan di ulang dalam ketegangan antara individu dan masyarakat. Model dialektis Freud melihat ketegangan inheren antara individu dan masyarakat, dan dalam individu (antara id, ego dan super-ego). Naluri Eros menarik orang bersama-sama melawan alam dan dikaitkan ke pengembangan masyarakat dan budaya (Freud, 1994; 49). Naluri merusak dalam individu menolak penggabungan antara orang dan program peradaban (Freud, 1994; 49), walau itu mungkin memiliki peran kreatif dalam menyerang tradisi dan memungkinkan munculnya hubungan sosial baru.

            Secara naluriah, orang terdorong untuk mencari kebahagiaan (Freud, 1994; 11). Akan tetapi, kondisi manusia pati di tandai oleh tiga sumber dasar penderitaan: kematian dan penurunan kondisi tubuh; subordinasi manusia terhadap alam; dan rasa sakit akibat hubungan manusia dengan manusia lain (Freud, 1994; 19). Kebahagiaan individual manusia pada akhirnya adala ilusif atau menyesatkan karena terdorong oleh rangsangan biologis bawaan lahir yang saling bertentangan, dan ketegangan inheren yang ada di antara strategi-strategi untuk mengatasi sumber-sumber penderitaan manusia.

            Tidak ada “resep tertinggi”, atau resep psikologis, untuk mengatasi tragedi kondisi manusia (Freud, 1994; 17). Freud skeptis terhadap kemungkinan kemanusiaan menjadi lebih bahagia dibawah kondisi-kondisi primitif. Ia lebih percaya bahwa kemajuan manusia mungkin mengurangi penderitaan manusia dibawah subordinasi alam (Freud, 1994; 20-21). Akan tetapi, peradaban mungkin merusak kebahagiaan individual karena pembatasan budayanya lebih berkembang bagi naluri biologis yang di bawa manusia sejak lahir. Freud mengkritik peradaban modern karena begitu parah membatasi naluri manusia, terutama pembatasan peradaban terhadap seksualitas. Freud menulis:

“Kita mungkin berharap, dalam perjalanan waktu, perubahan akan dilaksanakan dalam peradaban kita sehingga lebih memuaskan kebutuhan kitadan tidak lagi terbuka pada pencelaan yang kita lawan. Akan tetapi, barang kali kita juga harus membiasakan diri pada gagasan bahwa ada tulisan tertentu yang melekat  pada hakikat kebudayaan yang tidak akan tunduk pada setiap reformasi. Selain kewajiban untuk menempatkan pembatasan atas naluri kita, yang kita lihat menjadi hal yang tak terelakan, kita juga terancam dengan bahaya dari keadaan yang disebut la misere psychologique dari kelompok (Freud, 1994; 43)"

            Penderitaan yang tak terhindarkan dalam kondisi manusia cenderung menurunkan tuntutan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, dan membatasi harapan manusia untuk menghindari penderitaan (Freud, 1994; 12). Freud berhati-hati tentang bagaimana kmencapai kesempurnaan manusia, dan oleh itu ia mendiagnosis neurosis kolektif dan mengusulkan solusi terafi kolektif. Proposal seperti itu melibatkan problem teoretis serius dan implikasi politik serius.

“Jika evolusi peradaban punya kesamaan sedemikian luas dengan perkembangan suatu individu, dan jika metode yang sama di terapkan pada keduanya, apakah diagnosis tidak akan dapat di benarkan bahwa banyak sistem peradaban—atau epos tentang itu, bahkan mungkin seluruh umat manusia—telah menjadi neurotik di bawah tekanan tren pembudayaan? Untuk pembedahan analitik atas neurosis ini, rekomendasi terapi mungkin mengikuti yang bisa mengklaim kepentingan besar praktis. Saya tidak mengatakan bahwa upaya penerapa psikoanalisis pada masyarakat beradab akan menyenangkan atau mungkin dikutuk menjadi tanpa hasil. Akan tetapi, ini mendorogn kita untuk sangat berhati-hati, tidak melupakan bahwa kita hadapi hanya dengan analogi. Itu berbahaya, tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan konsep, untuk menyeret keluar dari kawasan tempat mereka berasal dan di matangkan. Selain itu, diagnosis neurosis kolektif akan dihadapkan pada kesulitan khusus. Dalam neurosis, masing-masing individu dapat kita gunakan sebagai titik awal kontras yang disajikan antara pasien dan lingkungannya yang di asumsikan normal.