SIGMUND FREUD |
Vanessa Pupavac
Teori-teori psikoanalitis Sigmund Freud memberi
pengaruh penting pada pengembangan pemikiran postrukturalis. Adorno, Fromm, dan
Marcus dari Mahzab Frankfurt atau pemikir berikutnya seperti Butler, Lacan, dan
Zizek mengakui utang intelektual mereka pada Freud, meskipun mereka telah
menjauh dari teori-teorinya.
CIVILIZATION AND ITS DISCONTENTS
[1930]
Civilization And
Its Discontents [1930] karya Freud
menguraikan pandangannya tentang kondisi manusia. Model dialektisnya tentang
kemanusiaan melihat kemanusiaan itu di dorong oleh kekuatan berlawanan, yakni
cinta dan benci, altruisme dan egoisme, atau naluri Eros dan Kematian (Freud,
1994; 46-49). Naluri altruistik dalam individu menarik orang untuk
bersama-sama, sementara Naluri Destruktif membawa orang untuk saling menolak (Freud,
1994; 49).
Model Dialektis Freud terhadap
individu meliputi: id, Ego, dan Super-Ego, yang secara luas sebagai berikut :
1. Id = Diri yang Naluriah
2. Ego = Rasa individual yang di kembangkan sebagai
diri yang berbada dari dunia luar
3. Super-Ego = Nrma-norma budaya atau Nurani yang sudah
di internalkan.
Awalnya,
ego seseorang adalah tidak beda dari dunia luar: seorang bayi yang masih
tergantung merasa menjadi satu dengan dunia. Lalu, ego anak berkembang melalui
prinsip kesenangan atau kebahagiaan. Saat anak menjadi lebih sadar diri, ia
mengidentifikasi figur “ayah—pelindung” yang bisa bergantung dan menginternalkan norma-norma
budaya dan mengembangkan hati nurani.
Ketergantungan individual pada figur
ayah—pelindung membuat individu takut pada hukuman atau pencabutan cinta jika
ia melakukan pelanggaran (Freud, 1994: 54). Ketakutan yang bersifat antisifasi
ini mengarah ke penolakan naluriah. Jadi, individu menginternalkan otorita
pelarangan eksternal. Ketakutan atau hukuman eksternal ini menjadi ketakutan
dari hati nurani atau super-ego internal, dan mengarah pada dinamika penolakan
personal.
Oleh karena itu, bagaimana individu
mengembangkan karakter atau kepribadian mereka itu tergantung pada figur
otorita. Otoritas eksternal bisa melindungi sekaligus mengekang individu, oleh
karena itu si individu merasa terpenuhi sekaligus terampas oleh otoritas
eksternal. Akibatnya, individu merasa cinta sekaligus benci terhadap otorita
eksternal.
Konsep Freud tentang Oedifus complex mengacu pada bagaimana anak-anak
mencintai dan membenci figur ayah—pelindung. Anak-anak mengidentifikasi diri
dengan figur ayah—pelindung itu, tetapi ingin juga menghancurkan dan
menggantikannya. Anak-anak mencintai orang tua mereka karena mereka bergantung
pada perawatan orang tua. Akan tetapi, anak-anak membenci orang tua karena
orang tua tidak dapat memnuhi semua keinginan mereka. Orang tua membatasi
rangsangan egoistis dan naluriah anak dan mengharuskan kepatuhan pada klaim
orang lain (keluarga, komunitas, dan lain-lain).
Ketegangan antara ank dan orang
dewasa akan di ulang dalam ketegangan antara individu dan masyarakat. Model
dialektis Freud melihat ketegangan inheren antara individu dan masyarakat, dan
dalam individu (antara id, ego dan super-ego). Naluri Eros menarik orang
bersama-sama melawan alam dan dikaitkan ke pengembangan masyarakat dan budaya
(Freud, 1994; 49). Naluri merusak dalam individu menolak penggabungan antara
orang dan program peradaban (Freud, 1994; 49), walau itu mungkin memiliki peran
kreatif dalam menyerang tradisi dan memungkinkan munculnya hubungan sosial
baru.
Secara naluriah, orang terdorong
untuk mencari kebahagiaan (Freud, 1994; 11). Akan tetapi, kondisi manusia pati
di tandai oleh tiga sumber dasar penderitaan: kematian dan penurunan kondisi
tubuh; subordinasi manusia terhadap alam; dan rasa sakit akibat hubungan
manusia dengan manusia lain (Freud, 1994; 19). Kebahagiaan individual manusia
pada akhirnya adala ilusif atau menyesatkan karena terdorong oleh rangsangan
biologis bawaan lahir yang saling bertentangan, dan ketegangan inheren yang ada
di antara strategi-strategi untuk mengatasi sumber-sumber penderitaan manusia.
Tidak ada “resep tertinggi”, atau
resep psikologis, untuk mengatasi tragedi kondisi manusia (Freud, 1994; 17).
Freud skeptis terhadap kemungkinan kemanusiaan menjadi lebih bahagia dibawah
kondisi-kondisi primitif. Ia lebih percaya bahwa kemajuan manusia mungkin
mengurangi penderitaan manusia dibawah subordinasi alam (Freud, 1994; 20-21).
Akan tetapi, peradaban mungkin merusak kebahagiaan individual karena pembatasan
budayanya lebih berkembang bagi naluri biologis yang di bawa manusia sejak
lahir. Freud mengkritik peradaban modern karena begitu parah membatasi naluri
manusia, terutama pembatasan peradaban terhadap seksualitas. Freud menulis:
“Kita mungkin berharap, dalam
perjalanan waktu, perubahan akan dilaksanakan dalam peradaban kita sehingga
lebih memuaskan kebutuhan kitadan tidak lagi terbuka pada pencelaan yang kita
lawan. Akan tetapi, barang kali kita juga harus membiasakan diri pada gagasan
bahwa ada tulisan tertentu yang melekat
pada hakikat kebudayaan yang tidak akan tunduk pada setiap reformasi.
Selain kewajiban untuk menempatkan pembatasan atas naluri kita, yang kita lihat
menjadi hal yang tak terelakan, kita juga terancam dengan bahaya dari keadaan
yang disebut la misere psychologique dari
kelompok (Freud, 1994; 43)"
Penderitaan yang tak terhindarkan
dalam kondisi manusia cenderung menurunkan tuntutan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan,
dan membatasi harapan manusia untuk menghindari penderitaan (Freud, 1994; 12).
Freud berhati-hati tentang bagaimana kmencapai kesempurnaan manusia, dan oleh
itu ia mendiagnosis neurosis kolektif dan mengusulkan solusi terafi kolektif.
Proposal seperti itu melibatkan problem teoretis serius dan implikasi politik
serius.
“Jika evolusi peradaban punya
kesamaan sedemikian luas dengan perkembangan suatu individu, dan jika metode
yang sama di terapkan pada keduanya, apakah diagnosis tidak akan dapat di benarkan
bahwa banyak sistem peradaban—atau epos tentang itu, bahkan mungkin seluruh
umat manusia—telah menjadi neurotik di bawah tekanan tren pembudayaan? Untuk
pembedahan analitik atas neurosis ini, rekomendasi terapi mungkin mengikuti
yang bisa mengklaim kepentingan besar praktis. Saya tidak mengatakan bahwa
upaya penerapa psikoanalisis pada masyarakat beradab akan menyenangkan atau
mungkin dikutuk menjadi tanpa hasil. Akan tetapi, ini mendorogn kita untuk
sangat berhati-hati, tidak melupakan bahwa kita hadapi hanya dengan analogi.
Itu berbahaya, tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan konsep, untuk
menyeret keluar dari kawasan tempat mereka berasal dan di matangkan. Selain
itu, diagnosis neurosis kolektif akan dihadapkan pada kesulitan khusus. Dalam
neurosis, masing-masing individu dapat kita gunakan sebagai titik awal kontras
yang disajikan antara pasien dan lingkungannya yang di asumsikan normal.