Sabtu, 23 Maret 2013

Teori Kritis Sigmund Freud




SIGMUND FREUD

Vanessa Pupavac


Teori-teori psikoanalitis Sigmund Freud memberi pengaruh penting pada pengembangan pemikiran postrukturalis. Adorno, Fromm, dan Marcus dari Mahzab Frankfurt atau pemikir berikutnya seperti Butler, Lacan, dan Zizek mengakui utang intelektual mereka pada Freud, meskipun mereka telah menjauh dari teori-teorinya.


CIVILIZATION AND ITS DISCONTENTS [1930]

Civilization And Its Discontents [1930] karya Freud menguraikan pandangannya tentang kondisi manusia. Model dialektisnya tentang kemanusiaan melihat kemanusiaan itu di dorong oleh kekuatan berlawanan, yakni cinta dan benci, altruisme dan egoisme, atau naluri Eros dan Kematian (Freud, 1994; 46-49). Naluri altruistik dalam individu menarik orang untuk bersama-sama, sementara Naluri Destruktif membawa orang untuk saling menolak (Freud, 1994; 49).

            Model Dialektis Freud terhadap individu meliputi: id, Ego, dan Super-Ego, yang secara luas sebagai berikut :
1.      Id = Diri yang Naluriah
2.      Ego = Rasa individual yang di kembangkan sebagai diri yang berbada dari dunia luar
3.      Super-Ego = Nrma-norma budaya atau Nurani yang sudah di internalkan.
Awalnya, ego seseorang adalah tidak beda dari dunia luar: seorang bayi yang masih tergantung merasa menjadi satu dengan dunia. Lalu, ego anak berkembang melalui prinsip kesenangan atau kebahagiaan. Saat anak menjadi lebih sadar diri, ia mengidentifikasi figur “ayah—pelindung”  yang bisa bergantung dan menginternalkan norma-norma budaya dan mengembangkan hati nurani.

            Ketergantungan individual pada figur ayah—pelindung membuat individu takut pada hukuman atau pencabutan cinta jika ia melakukan pelanggaran (Freud, 1994: 54). Ketakutan yang bersifat antisifasi ini mengarah ke penolakan naluriah. Jadi, individu menginternalkan otorita pelarangan eksternal. Ketakutan atau hukuman eksternal ini menjadi ketakutan dari hati nurani atau super-ego internal, dan mengarah pada dinamika penolakan personal.

         Oleh karena itu, bagaimana individu mengembangkan karakter atau kepribadian mereka itu tergantung pada figur otorita. Otoritas eksternal bisa melindungi sekaligus mengekang individu, oleh karena itu si individu merasa terpenuhi sekaligus terampas oleh otoritas eksternal. Akibatnya, individu merasa cinta sekaligus benci terhadap otorita eksternal.

            Konsep Freud tentang Oedifus complex mengacu pada bagaimana anak-anak mencintai dan membenci figur ayah—pelindung. Anak-anak mengidentifikasi diri dengan figur ayah—pelindung itu, tetapi ingin juga menghancurkan dan menggantikannya. Anak-anak mencintai orang tua mereka karena mereka bergantung pada perawatan orang tua. Akan tetapi, anak-anak membenci orang tua karena orang tua tidak dapat memnuhi semua keinginan mereka. Orang tua membatasi rangsangan egoistis dan naluriah anak dan mengharuskan kepatuhan pada klaim orang lain (keluarga, komunitas, dan lain-lain).

            Ketegangan antara ank dan orang dewasa akan di ulang dalam ketegangan antara individu dan masyarakat. Model dialektis Freud melihat ketegangan inheren antara individu dan masyarakat, dan dalam individu (antara id, ego dan super-ego). Naluri Eros menarik orang bersama-sama melawan alam dan dikaitkan ke pengembangan masyarakat dan budaya (Freud, 1994; 49). Naluri merusak dalam individu menolak penggabungan antara orang dan program peradaban (Freud, 1994; 49), walau itu mungkin memiliki peran kreatif dalam menyerang tradisi dan memungkinkan munculnya hubungan sosial baru.

            Secara naluriah, orang terdorong untuk mencari kebahagiaan (Freud, 1994; 11). Akan tetapi, kondisi manusia pati di tandai oleh tiga sumber dasar penderitaan: kematian dan penurunan kondisi tubuh; subordinasi manusia terhadap alam; dan rasa sakit akibat hubungan manusia dengan manusia lain (Freud, 1994; 19). Kebahagiaan individual manusia pada akhirnya adala ilusif atau menyesatkan karena terdorong oleh rangsangan biologis bawaan lahir yang saling bertentangan, dan ketegangan inheren yang ada di antara strategi-strategi untuk mengatasi sumber-sumber penderitaan manusia.

            Tidak ada “resep tertinggi”, atau resep psikologis, untuk mengatasi tragedi kondisi manusia (Freud, 1994; 17). Freud skeptis terhadap kemungkinan kemanusiaan menjadi lebih bahagia dibawah kondisi-kondisi primitif. Ia lebih percaya bahwa kemajuan manusia mungkin mengurangi penderitaan manusia dibawah subordinasi alam (Freud, 1994; 20-21). Akan tetapi, peradaban mungkin merusak kebahagiaan individual karena pembatasan budayanya lebih berkembang bagi naluri biologis yang di bawa manusia sejak lahir. Freud mengkritik peradaban modern karena begitu parah membatasi naluri manusia, terutama pembatasan peradaban terhadap seksualitas. Freud menulis:

“Kita mungkin berharap, dalam perjalanan waktu, perubahan akan dilaksanakan dalam peradaban kita sehingga lebih memuaskan kebutuhan kitadan tidak lagi terbuka pada pencelaan yang kita lawan. Akan tetapi, barang kali kita juga harus membiasakan diri pada gagasan bahwa ada tulisan tertentu yang melekat  pada hakikat kebudayaan yang tidak akan tunduk pada setiap reformasi. Selain kewajiban untuk menempatkan pembatasan atas naluri kita, yang kita lihat menjadi hal yang tak terelakan, kita juga terancam dengan bahaya dari keadaan yang disebut la misere psychologique dari kelompok (Freud, 1994; 43)"

            Penderitaan yang tak terhindarkan dalam kondisi manusia cenderung menurunkan tuntutan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan, dan membatasi harapan manusia untuk menghindari penderitaan (Freud, 1994; 12). Freud berhati-hati tentang bagaimana kmencapai kesempurnaan manusia, dan oleh itu ia mendiagnosis neurosis kolektif dan mengusulkan solusi terafi kolektif. Proposal seperti itu melibatkan problem teoretis serius dan implikasi politik serius.

“Jika evolusi peradaban punya kesamaan sedemikian luas dengan perkembangan suatu individu, dan jika metode yang sama di terapkan pada keduanya, apakah diagnosis tidak akan dapat di benarkan bahwa banyak sistem peradaban—atau epos tentang itu, bahkan mungkin seluruh umat manusia—telah menjadi neurotik di bawah tekanan tren pembudayaan? Untuk pembedahan analitik atas neurosis ini, rekomendasi terapi mungkin mengikuti yang bisa mengklaim kepentingan besar praktis. Saya tidak mengatakan bahwa upaya penerapa psikoanalisis pada masyarakat beradab akan menyenangkan atau mungkin dikutuk menjadi tanpa hasil. Akan tetapi, ini mendorogn kita untuk sangat berhati-hati, tidak melupakan bahwa kita hadapi hanya dengan analogi. Itu berbahaya, tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan konsep, untuk menyeret keluar dari kawasan tempat mereka berasal dan di matangkan. Selain itu, diagnosis neurosis kolektif akan dihadapkan pada kesulitan khusus. Dalam neurosis, masing-masing individu dapat kita gunakan sebagai titik awal kontras yang disajikan antara pasien dan lingkungannya yang di asumsikan normal.

Rabu, 06 Februari 2013

Teori Etika Politik Emmanuel Levinas


Emmanuel Levinas



Dalam beberapa tahun terakhir, pemikiran filosofis Emmanuel Levinas telah menemukan jalan menuju Hubungan Internasional dan bidang-bidang terkait. Pandangan unik dan radikal Levinas tentang hubungan etika telah membuat ide-idenya tentang “the Other” dan “the Face” segera mendapat pengakuan di antara teoretisi kritis di berbagai ilmu sosial. Tujuan dari Bab ini adalah Memperkenalkan filsafat etika Levinas dan mempertimbangkan beberapa pertanyaan yang muncul ketika etika di terjemahkan kedalam politik praktis. Bab ini kemudian akan berbelok untuk melihat Hubungan Internasional Kunci dan keilmuan terkait yang mengambil pemikiran Levinasian, dan untuk menunjukan bagaimana Levinas mempengaruhi karya kontemporer daam etika dan politik internasional.

Lahir di Lithuania pada 1906, kehidupan intelektual dan kehidupan pribadi Levinas di kondisikan oleh latar belakang Yahudi—sebagaimana tampak dalam pengalaman budayanya sendiri dan pengaruh anti –Semitis—me pada  masanya. Selain mendapatkan pendidikan Talmud tradisional, Levinas juga di pengaruhi oleh novelis besar Rusia abad ke-19. Pada 1915, saat masih anak-anak, ia di deportasi dalam pengusiran massal orang Yahudi di Lithuania. Keluarganya menetap di Ukraina, di saat ia menyaksikan pembantaian anti-Semit dari era itu. Saat pemerintah Soviet, yang baru berdiri, mencabut perintah pengungsian Yahudi pada 1920, keluarga Levinas kembali ke Lithuania. Kemudian, Levinas meniggalkan rumah untuk kuliah di University of Strasbourg, lalu pindah ke University of Freiburg tempat ia belajar pada Husserl dan Heidegger. Dalam waktu ini, Levinas mempelajari Fenomenologi—cabang filsafat yang membidik pengalaman individual terhadap dunia. Saat meletusnya perang dunia ke-2, Levinas bertugas sebagai juru bahasa untuk Angkatan Darat Perancis. Dia menjadi tawanan Jerman pada 1940, dan masuk kamp kerja paksa hingga perang berakhir. Keluarganya di Lithuania sudah musnah dalam Holocaust, sementara istri dan putrinya di Prancis di sembunyikan dalam biara atas bantuan teman lama sekaligus filsuf, Maurice Blanchot.

Perang berakhir, Levinas mengajar filsafat di École Normale Israélite Orientale, tempat ia menyelesaikan buku Totality and Infinity. Ia mengambil jenjang profesor di University of Poitiers, dan kemudian di University of Prancis, Nanterre. Pada 1973, ia pindah ke Sorbonne, tempat ia menyelesaikan salah satu karya terpenting, Otherwise Than Being or Beyond Essence (Ajzenstat 2001:3). Saat kematiannya pada 1995, Jacques Derrida mengumumkan bahwa karya Levinas tentang etika “akan mengubah arah refleksi filosofis dalam era kita” (Derrida 1999:4).


PEMIKIRAN ETIKA LEVINAS

Saat filsuf kontemporer akan tertarik pada nuansa dari banyak aspek warisan intelektual Levinas, karaynya tentang etikalah yang membuatnya  banyak di kenali dan di akui dalam ilmu-ilmu sosial. Fondasi membentuk etika Leviasian berkisarr pada klaim dasar bahwa the self (diri) selalu bertanggung jawab dari pada the Other (Orang lain). Tanggung jawab ini bukan pilihan, juga bukan sesuatu yang kita peroleh melalui sosialisasi atau melalui keputusan sadar untuk menjalani kehidupan moral. Tanguung jawab adalah kondisi tempat kita di lahirkan. Dengan demikian, ini bukan keputusan kita, tetapi suatu keputusan yang di buat untuk kita oleh fakta tak terhindarkan tentang hubungan kita dengan Other. Kita diminta bertanggung jawab oleh Other, tak perduli apa yang kita mungkin inginkan. Karakter hubungan ini menandai keberangkatan penting untuk meninggalkan inti pemikiran Barat, karena hal itu berati bahwa kita bukan agen rasional dan otonom dalam pembuatan keputusan sebagaimana di isyaratkan sejarah filsafat Barat. Malahan, kita dalam beberapa cara bergantung pada Other bagi rasa dasar kita tentang Self ; kita terbentuk dalam dan oleh hubungan kita dengan Other, kita tidak dapat bebas dari eksistensi Other , atau dari dampak Other terhadap keberadaan kira sendiri.

Tanggung jawab kita terhadap Other tidak bergantung pada penalaran atau pengalaman sebelumnya, atau pada perincian hubunga tertentu. Dalam pengertian Levinas, tanguung jawab tidak terkait dengan karakter tertentu hubungan kita dengan pihak lain di dunia, karena keterhubungan aktual kita ke other—melalui negara, masyarakat, keluarga dan seterusnya—menyiratkan harapan, dan bukannya etika. Hubungan kita dan teman-teman kita, misalnya terbentuk dari harapan bersama; kita (idealnya) membangun kepercayaan melalui asas timbal balik dari waktu ke waktu. Demikian pula, sebagai anggota dari suatu negara, kita memikul hak sebagai warga negara atau sebagai imigran yang diakui secara legal. Kita menikmati perlindungan di bawah hukum, dan kita cukup sadar akan kewajiban kita pada negara sebagai imbalan atas perlindungan ini. Hubungan dengan Other tidak di dasarkan pada harapan, pada “hak”, atau pada ikatan komunitas atau kekeluargaan. Bahkan, the Other ini sepenuhnya tidak kita ketahui, pada mereka yang  tidak terkait apapun dengan kita dalam hal keluarga, komunal, atau kesetiaan nasional. Sederhananya, kita tanpa syarat bertanggung jawab atas kehidupan Other, dan inilah perintah hidup yang di sajikan dunia pada kita.

Gagasan Levinas tentang tanggung jawab muncul dari kesadaran kita bahwa eksistensi mendasar kita selalu menghasilkan kekerasan, apakah kita mengajarkannya atau tidak. Sebagaimana di tanyakan Levinas:

Being-in-the-World saya, atau “tempat saya di bawah matahari”, atau keberadaan saya dirumah, bukan merupakan perebutan atas ruang milik orang lain yang mana saya telah ditindas atau dibuatkelaparan, atau  dibuang ke dunia ketiga: apakah mereka   tidak bertindak menistakan, mengucilkan, mengasingkan, pengupasan, membunuh? (Levinas 1989: 82)

Apa yang Levinas singgung disini adalah ide bahwa kehidupan nyaman kita adalah selalu di mungkinkan oleh penderitaan orang lain, bahkan ketika kita tidak bermaksud atau tidak menyadarinya. Sebagai contoh: mari kita bayangkan suatu kegiatan yang tidak bersalah, misalnya pengisian bahan bakar mobil. Orang bisa menganggap ini bisa menjadi upaya berbahaya. Kita tahu, perang dan konflik politik, serta degradasi kondisi lingkungan, sebenarnya bersumber dari aktivitas kita yang tidak di sengaja merupakan dari pengisian bahan bakar itu. Namun demikian, bagi Levinas, kondisi tentang tanggungjawab radikal ini juga tanggungjawab tak terbatas, artinya tidak dapat di atasi atau diselesaikan hanya dengan perhatian pada hidup yang baik atau benar. Jadi, bagi Levinas, orang mungkin marah dan menyingkirkan mobil itu, tetapi hal ini tidak mengurangi tanggungjawab dia, karena selalu ada sesuatu lain yang merusakan Other—sesuatu yang kita tidak dapat antisipasi atau perhitungkan. Keberadaan kita adalah yang selalu menyebabkan cedera potensial pada the Other. Jadi, yang abadi adalah kondisi tanggung jawab yang Levinas fahami sebagai “...tanggung jawab yang melampaui apa yang  saya mungkin atau tidak mungkin tellah lakukan pada Other atau tindakan apapun yang saya tidak mungkin atau mungkin lakukan, seakan-akan saya mencintai other sebelum mencintai diri saya” (Levinas, 1989:83)

Rabu, 16 Januari 2013

Immanuel Kant




Immanuel Kant

   

Kant menghabiskan sepanjang kehidupan kerjanya untuk mengajar di sebuah Universitas di kota pelabuhan Konigsberg, Prusia, tempat ia di lahirkan. Akan tetapi, ia adalah peserta aktif dalam perdebatan filosofis kala itu di Eropa. Ide-idenya terus membentuk dan mempengaruhi bidang penyelidikan filosofis; dari Epistemologi hingga filsafat sejarah. Dari persfektif sejarah pemikiran Eropa pada umumnya, adalah mustahil untuk meremehkan pentingnya karya-karya Kant di kemudian hari; filsafat kritis yang di terbitkan khusunya dalam buku teks, Critique of Pure Reason [1781] dan Critique ofPractical Reason [1788]. Dari sudut pandang Hubungan Internasional, tulisan-tulisan Kant yang juga bersumber dari periode “kritis” dan khususnya esai On Perpetual Peace: A PhilosophicalSketch [1795] juga sangat di signifikan.

Disini saya akan menyoroti tiga bidang pemikiran kritis Kant yang membantu memantapkan kondisi bagi para teoritisi kritis dikemudian hari dan bagi cendikiawan Hubungan Internasional kontemporer. Ketiga bidang itu adalah pengetahuan, moralitas dan politik.



PENGETAHUAN


Argumen filosofis pada abad ke-18 tentang bagaimana kita membenarkan klaim terhadap pengetahuan pada dasarnya jatuh kedalam kategori. Di satu sisi, tradisi “rasionalis” berpendapat bahwa klaim pengetahuan dapat dengan pasti didasarkan pada rasio atau penalaran, mungkin dalam bentuk ide-ide bawaan yang melekat dalam kemanusiaan atau bahkan dikirim langsung dari Tuhan. Disisi lain, tradisi “empiris” berpendapat bahwa klaim terhadap pengetahuan harus di dasarkan pada pengalaman indrawi (apa kita bisa mendengar, melihat, menyentuh, dan sebagainya) daripada sekedar dengan rasio.

Dalam Critique of Pure Reason, Kant terkenal karena memiliki lebih dari  dua pilihan di atas. Kant berargumen, penalaran saja atau pengindraan saja tidak akan memberikan kita pengetahuan apapun. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya di kondisikan (dibatasi) oleh kategori-kategori tentang pemahaman kita (yang antara lain: konsep sebab akibat) dan ketidak mampuan kita untuk mengalami apapun di luar kondisi ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, pengetahuan adalah produk dari konsep-konsep (kategori pemahaman) dan pengalaman di perantarai ruang–waktu yang keduanya datang secara bersama-sama. Gagasan Kant ini menggrogoti gagasan bahwa kita bisa mendapat pengetahuan langsung dari “sesuatu dalam diri sesuatu itu sendiri”. Maka dari itu, tugas filsafat  pada dasarnya adalah tugas untuk melacak keterbatasan kita sendiri dan memperjelas apa yang kita bisa dan tidak bisa kita klaim tentang dunia. Tugas ini disebut Kant sebagai “Kritik”.

Teroi kritis Kant tentang pengetahuan membuka jalan bagi teori kritis di kemudian hari dengan cara berfokus pada kondisi-kondisi bagi kemungkinan adanya pengetahuan dan pegalaman. Pemikir era berikutnya, misalnya Hegel dan Marx, kemudian merevolusikan revolusi fiosofis Kant itu dengan menyatakan bahwa kondisi-kondisi bagi kemungkinan adanya pengetahuan dan pengalaman itu tidak stabil dan transhistoris, tetapi benar-benar sudah tertanam dalam sejarah manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting tentang landasan otoritas kritis para filsuf untuk menentukan jenis-jenis klaim apa yang sah dan mana yang tidak sah. Hal ini terus menjadi pertanyaan yang menghantui para teoritis kritis abad ke-20.



MORALITAS

Teori Kant tentang pengetahuan adalah tentang mengakui keterbatasan manusia. Hal ini sangat berlawanan dengan teorinya sendiri tentang moral. Teori Kant tentang moralitas ini menyatakan potensi kemanusiaan untuk membatasi keterbatasan kita. Bagi Kant, ada perbedaan jelas yang bisa di tarik antara penalaran teoretis murni dan penalaran praktis murni. Penalaran teoretis kita terbatas dan terkondisi: kita tidak bisa tahu hal-hal dalam cara mediasi dalam cara yang mungkin seperti caranya malaikat. Secara moral, kita  juga terbatas: kita sering di dorong oleh nafsu dan keinginan hewani dari pada di dorong oleh pertimbangan moral. Namun demikian, dalam kasus moralitas menurut Kant, kita masih mampu mengetahui apa yang  benar. Ada cara-cara dimana kita dapat mengerjakan apa tugas kita, melalui prinsif-prinsif penguniversalan dimana kita merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari prinsif-prinsif tersebut untuk menjadi hukum universal (yang disebut “categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris).

Namun demikian, untuk bertindak secara moral bukan sekedar melakukan hal yang benar, tetapi untuk melakukan hal yang benar demi melakukan hal yang benar itu sendiri—bukan melakukan itu demi hal itu cocok dengan kita atau tidak. Bagi Kant, memberi uang pada pengemis karena kasihan padanya adalah bukan tindakan moral. Yang bisa  di sebut tindakan moral adalah memberi uang pada pengemis karena amal baik bisa di universalkan sebagai hal yang baik. Jadi, kapasitas moral yang sama-sama dimiliki manusia ini, menurut Kant, adalah yang membedakan kita dengan binatang dan membuat kita  secara khusus layak di hormati.

Mungkin, implikasi paling terkenal yang bisa di tarik Kant dari perhitungannya tentang kapasitas moral kita untuk mengetahui dan menjalankan hukum moral adalah argumennya bahwa manusia tidak boleh di perlakukan sebagai sarana, tapi harus selalu sebagai tujuan. Prinsif orang lain ini menjadi salah satu insfirasi bagi ide Hak Asasi Manusia Universal yang sangat berpengaruh pada abad ke-20. Teori moral Kant juga terus menjadi acuan penting bagi teori di kemudian hari dan bagi etika internasional kontemporer. Bagi beberapa pihak, pandangannya tentang moralitas menangkap inti rasional dan universal tentang penalaran moral, yang kemudian dapat memberi tolak ukur bagi kritik moral yang beroperasi melintasi batas-batas budaya dan kekuasaan. Bagi pihak lain, teori moral Kant tidak mampu mempertahankan klaimnya terhadap universalitas, terlalu abstrak dan rasionalistik, dan karena itu tidak peka terhadap kekhasan pengalaman dan tradisi etis yang berbeda.


POLITIK

Walau Kant melihat kita mampu bertindak sesuai perintah penalaran praktis murni, ia masih melihat manusia sebagai secara fundamental cacat dan tidak mampu secara konsisten melampaui selera dasar dan material. Atas alasan ini, Kant mengembangakn teori politik. Teorinya adalah pemerintahan dan hukum harus bisa menjamin kepatuhan luar tehadap moralitas, dan menyediakan konteks yang kapasitas moral kita dapat di matangkan dan kemajuan dapat di capai. Menurutnya, konteks politik terbaik untuk menyediakan itu adalah negara Republik. Yang dimaksud dengan negara Republik adalah keadaan yang milik pribadinya dilembagakan, ada pemisahan kekuasaan (antara legislatif, eksekutif dan yudikatif), dan kekuatan-kekuatan itu secara politis bertanggung jawab kepada lembaga warga yang dewasa, laki-laki, pemilik properti.

Dua aspek dari politik Kant telah menarik minat cendikiawan Hubungan Internasional: hubungan yang ia buat antara negara-negara republik dan hubungan antara negara-negara yang tenang terkendali dengan cara yang teori politiknya tertanam dalam filsafat sejarah. Dalam Perpetual Peace: A Philosophical Sketch, Kant menguraikan kondisi-kondisi yang di perlukan bagi hubungan internasional yang damai. Pertama; semua negara harus republik. Kedua; negara-negara republik harus masuk kedalam “persatuan pasif” satu sama lain untuk mengatur interaksi melalui hukum internasional dan menghindari perang sebagai sarana kebijakan luar negeri. Ketiga; semua negara harus menghormati hak Universal dan kosmopolitan atas individu untuk mendapatkan keramahtamahan, bahkan jika individu itu bukan warga negara.

Kondisi-kondisi bagi perdamaian abadi sejalan dengan persyaratan moralitas. Akan tetapi, Kant juga berpendapat bawa kita dapat mengidentifikasikan kekuatan-kekuatan historis yang cenderung bisa membawanya. Ia menunjuk mekanisme natural berupa rasa takut dan keserakahan yang akan mendorong orang menuju republikanisme dan federasi pasif—terlepas dari moralitas. Sebagai contoh, ia berpendapat bahwa konflik manusia pada akhirnya akan menghasilkan senjata yang begitu mengerikan sehingga—karena menakutkan kelangsungan hidup mereka sendiri—orang ingin menghindari kemungkinan perang. Kant juga berpendapat, pembangunan perdagangan internasional akan menciptakan tingkat saling ketergantungan yang akan membuat perang akan bertentangan dengan kepentingan egois kita. Akhirnya, ia menyarankan diri rendah kita dan diri tinggi kita untuk mendorong sejarah dalam arah yang sama dengan arah kemajuan republik, masyarakat pasar, dan hubungan antar negara yang pasif.

Pemikiran politik Kant telah di ambil oleh teoretisi liberal Hubungan Internasional sebagai pernyataan awal bagi teori kontemporer bahwa negara-negara liberal cenderung pasif dalam hubungan dengan satu sama lain. Akan tetapi, hal itu juga mengilhami pemikir kritis, misalnya: Habermas, dalam hal Visinya tentang negara republik dan teorinya tentang perkembangan sejarah progresif. Dalam banyak hal, Kant menetakan agenda bagi perdebatan yang masih berlangsung dalam teori kritis tentang sifat dari hubungan antara moralitas dan politik, dan apakah (bagaimana) kemajuan politik bisa dimungkinkan.